"Kau tahu, Mas, bulan November tahun lalu adalah saat yang luar biasa bagiku," cerita Amir kepada temannya, Rizky, di bawah naungan pohon yang rindang di halaman Ma'had Al-Quds.
"Kenapa, Amir? Apa yang terjadi?" tanya Rizky dengan mata berbinar ingin tahu.
"Ya, waktu itu aku akhirnya berhasil menghafal seluruh Al-Qur'an, Rizky. Semua 30 juz sudah kutuntaskan dengan susah payah," jawab Amir sambil tersenyum bangga.
Rizky tertegun sejenak, mengesankan dengan pencapaian temannya. "Hebat sekali, Amir! Kau memang luar biasa."
Amir mengangguk, raut wajahnya penuh dengan kebanggaan. "Tapi tahu apa, Rizky? Setelah pencapaian besar itu, gempa bumi melanda Cianjur."
Rizky memandang Amir dengan penuh simpati. "Gempa bumi? Benarkah?"
"Betul, Rizky. Bangunan Ma'had Al-Quds hancur parah. Dan yang paling menyakitkan adalah acara ujian khotmil qur'an yang sudah lama kudambakan harus dibatalkan. Aku seolah-olah dihadapkan pada kenyataan yang tak pernah kuduga," ungkap Amir dengan ekspresi sedikit mendalam.
"Apa kau tidak merasa putus asa, Amir?" tanya Rizky dengan penuh keterkejutan.
Amir menatap Rizky dengan tulus. "Awalnya, tentu saja, aku merasa terpukul. Semua impian dan harapan tiba-tiba terguncang. Tapi kemudian aku sadar, kegigihan itu lebih penting daripada sekadar mengikuti acara wisuda."
Namun, di balik kata-kata percaya diri itu, ada konflik batin yang terus berkecamuk dalam hati Amir. Keraguan dan kekecewaan datang bergantian, menghantui malam-malamnya yang gelap. Ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis antara rasa percaya diri dan ketakutan kehilangan impian.
Rizky mengangguk mengerti. "Lalu apa yang kau lakukan setelah itu?"
Amir tersenyum mantap. "Aku masih terus berusaha, Rizky. Meski wisuda tertunda, dan meski bangunan tempatku belajar hancur, aku tidak akan menyerah. Aku tahu, apa pun yang terjadi, yang paling penting adalah semangat dan usahaku tetap terjaga."
Rizky mengangguk, kini dengan mata yang penuh kekaguman. "Aku salut padamu, Amir. Kau benar-benar memiliki semangat yang luar biasa."
Amir tertawa ringan. "Terima kasih, Rizky. Aku hanya ingin membuktikan bahwa kita bisa melewati segala rintangan asalkan tekad kita kuat. Wisuda akan datang suatu hari nanti, tapi sampai saat itu, aku masih punya banyak yang ingin kutuntaskan."
Mereka berdua melanjutkan percakapan di bawah pohon rindang itu, sementara langit biru di atas mereka memberikan semangat baru untuk terus berusaha. Dalam percakapan sederhana itu, terpancar semangat dan keberanian yang tak tergoyahkan. Sebuah kisah tentang tekad yang menjadikan gempa bumi sebagai ujian semangat, dan tentang harapan yang tak pernah pudar meski langit mendung.
Komentar
Posting Komentar
silakan meninggalkan komentar