(sebuah cerpen)
Pagi yang cerah menyinari rumah sederhana tempat tinggal Halimah. Di usia 30 tahun, ia adalah seorang ibu yang penuh tanggung jawab. Tetapi ada satu tanggung jawab besar yang telah ia serahkan kepada Allah dan hatinya yang penuh keikhlasan.
Konsep utama dalam hidup Halimah adalah menjaga pendidikan agama anaknya. Dalam kota kecil ini, ia telah menghadapi banyak rintangan dalam mencari pendidikan agama yang layak bagi anaknya. Dan sekarang, saat waktunya tiba, ia harus melepaskan anaknya untuk memulai perjalanan agama yang lebih dalam di pondok pesantren yang jauh dari kota.
Begitulah Halimah, seorang ibu yang penuh dengan cinta dan pengorbanan. Anaknya, Ahmad, sekarang berusia sepuluh tahun. Ia telah mendengarkan cerita-cerita indah tentang pondok pesantren dari orang tuanya. Namun, walaupun penuh tekad untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya, Halimah merasa perih di hati saat tiba saatnya untuk berpisah.
Pagi itu, Halimah tiba di rumah mereka setelah mengantar Ahmad ke pondok pesantren. Wajahnya yang biasanya hangat dan penuh senyuman, kini tertutupi oleh kerinduan dan kekhawatiran. Ia menggenggam tas Ahmad erat-erat, seolah-olah masih bisa merasakan kehadiran anaknya.
Di rumah yang sunyi ini, Halimah teringat akan setiap momen indah yang telah mereka lewati bersama. Ia mengingat senyum pertama Ahmad, langkah pertamanya, dan semua saat kebersamaan yang begitu berharga. Seiring waktu, rumah ini telah menjadi saksi bisu atas setiap perubahan dalam hidup anaknya.
Di tengah-tengah kerinduannya, Halimah menemui suaminya, Ismail. Dia tahu bahwa ini bukanlah keputusan yang mudah, dan hatinya juga terpukul. Mereka berdua duduk di ruang tamu, pandangan mereka terpaku pada lantai.
"Bagaimana perasaanmu, Halimah?" tanya Ismail perlahan.
Halimah merenung sejenak sebelum menjawab dengan suara gemetar, "Aku merasa hampa, Ismail. Rumah ini tak sama tanpa Ahmad. Namun, aku juga tahu betapa pentingnya pendidikan agama baginya."
Ismail meletakkan tangannya di atas tangan Halimah. "Kita telah berusaha semampu kita, Halimah. Dan kita tahu bahwa Allah akan selalu menjaga dan melindungi Ahmad."
Dengan penuh tekad, Halimah mengangguk. "Aku tahu. Tapi hatiku terasa hampa, Ismail. Aku merindukan suara tawanya, senyumnya, dan segala hal tentangnya."
Saat siang tiba, Halimah terduduk di ruang tamu, memandang keluar melalui jendela. Ia melihat anak-anak dari tetangga bermain dengan riang di jalanan. Tapi matanya hanya mencari satu wajah yang kini jauh darinya. Setiap kali angin mengibaskan rambutnya, ia merasa seakan-akan suara Ahmad terdengar di telinganya.
Pada suatu malam, di bawah cahaya rembulan yang lembut, Halimah berbicara dengan hati yang hancur kepada Allah. Ia mohon kepada-Nya agar menjaga dan melindungi Ahmad, menguatkan hatinya untuk melewati setiap hari tanpa kehadiran anaknya. Ia juga meminta keikhlasan untuk melepaskan Ahmad belajar di pondok pesantren.
Saat Halimah duduk sendirian di dalam rumah, cahaya rembulan menerangi sudut ruang tamu. Ia melihat jendela yang terbuka lebar, seakan-akan mengajaknya untuk merenung. Sebuah keputusan berat harus diambil, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya.
Tiga bulan berikutnya, Halimah pergi ke pondok pesantren. Di sana, ia melihat Ahmad yang sedang bermain dengan teman-teman barunya. Wajahnya yang ceria menghangatkan hati Halimah. Ketika Ahmad melihat ibunya, ia berlari menghampirinya dan memeluknya erat-erat.
"Ibu, aku senang di sini!" serunya dengan gembira.
Halimah tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia mencium kening Ahmad dan berkata dengan lembut, "Kamu hebat, Nak. Ibu selalu mendoakanmu."
Di antara canda tawa anak-anak, Halimah merasa hatinya yang berat mulai terangkat. Ia tahu bahwa pilihan yang ia ambil adalah yang terbaik untuk Ahmad. Meskipun rasa rindu tak pernah berhenti, kebahagiaan anaknya adalah prioritasnya.
Komentar
Posting Komentar
silakan meninggalkan komentar